Senin, 04 Maret 2013

KETIKA KITA TERTINGGAL, SIAPA YANG SALAH“?”

Oleh Muhammad Ramadhan Yusuf Djalil

Konon suatu hari ada seorang anak yang lagi duduk di sisi kiri bagian depan sebuah toko “tempat usaha kecil-kecilan” dengan berbekalkan sebatang pena biasa yang bertinta hitam, serta dilengkapi dengan sebuah buku bekas yang dijadikannya sebagi “tempat dan teman setia” untuk mencurahkan segenap unek-unek yang terlintas dan terus mengganggu serta mengusik kesendiriannya.
Dengan nada “cemas dan penuh keraguan” dia berkata:
“Aku hanyalah seorang anak manusia yang dibekali dengan “hobby” membaca, bacaan ku pun tidak lebih dari sekedar Koran bekas yang setiap tanggal berganti senantiasa memenuhi, menyesaki dan mendiami pojok ruangan atau bahkan menjadi penghuni regular tong sampah”.
Tapi dengan “nada menantang” ia berkata: “Izinkan aku untuk mendengarkan sedikit orasi dan relakanlah aku menikmati “secercah” cahaya yang berupa sebuah jawaban yang kalaupun “sama sekali tidak penting menurut anda tapi bisa begitu berharga bagi saya”, saya yakin kalau saudara-saudara adalah orang pertama dan yang paling rutin mengisi meja yang kosong di setiap perpustakaan yang begitu mewah dan dibanjiri dengan jutaan bahkan miliaran “hasil pemikiran” yang begitu ilmiah dan rasioanal tentunya. Atas dasar keyakinan itulah saya “menggantungkan” segenap harapan yang saya punya agar saudara berkenan untuk menjawab pertanyaan saya berikut ini:
Pertama: “saya rasa anda adalah orang Indonesia, setiap warga Negara Indonesia berkewajiban untuk menjunjung tinggi setiap ketentuan yang berlaku di Indonesia, dan pancasila adalah dasar NKRI yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap WNRI, jadi menurut saya anda sebagai warga negara indonesia berkewajiban untuk menjunjung tinggi PANCASILA” nah atas dasar itu saya melemparkan sebuah pertanyaan kepada anda: “sebagai WNRI yang budiman, apakah anda setuju jika ada orang yang mengatakan bahwa indonesia menjadi sebuah negara yang tidak pernah maju dan terhambat perkembangannya, dikarenakan oleh “Dasar PANCASILA” yang salah? Atau karena indonesiannya “ WNRI nya” yang tidak benar dalam mengamalkan pancasila?
Ke-dua: “saya yakin anda adalah orang Islam, dan setiap kaum muslimin berkewajiban untuk menjunjung tinggi setiap ketentuan yang yang disyari’atkan oleh Allah SWT, dan Syari’at islam adalah aturan yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap muslim, jadi menurut “dugaan” saya anda adalah muslim yang ta’at sebagai muslim anda berkewajiban untuk menjunjung tinggi Syari’at islam”. Nah atas dasar itu saya melontarkan sebuah pertanyaan kepada anda: “sebagai MUSLIM yang ta’at, apakah anda setuju jika ada orang yang mengatakan bahwa orang islam menjadi kaum yang tertinggal dan terhambat kemajuannya, dikarenakan oleh “Dasar syari’at islam” yang salah? Atau justru karena MOESLIM nya yang tidak benar dalam mengamalkan Syari’at islam?
Ke-tiga: “bagaimana reaksi anda, apakah anda setuju atau sebaliknya anda akan marah ketika ada yang mengatakan: indonesia tidak pernah maju dan terhambat perkembangannya dikarenakan “oleh kenyataan sejarah” bahwa tempoe dulu indonesia pernah dijajah oleh belanda, dan karena itu indonesia tidak bisa maju sampai sekarang? ”.
Ke-Empat: “Apa yang anda rasakan, apakah anda setuju atau sebaliknya anda akan marah ketika ada yang mengatakan bahwa: ummat Islam dan pemikirannya tidak pernah maju dan terhambat perkembangannya dikarenakan “oleh kenyataan sejarah” bahwa tempoe dulu dikalangan ummat islam “ada seorang pemikir” yang bernama Al-Ghazali yang pernah “membekukan” perkembangan pemikiran Islam dan karena itu Islam terus tertinggal dari barat sampai sekarang?
C.A Qadir dalam karyanya Filsafat Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam yang mencoba mentafsirkan secara rinci tentang akumulasi penyebab “yang tidak tunggal” kemunduran dan ketertinggalan ummat islam dalam percaturan ilmu pengatahuan dan filsafat dalam Islam adalah sebagai berikut:
Penjarahan dikota Baghdad, dimana pada dasarnya semenjak abad ke-12 telah terjadi keruntuhan tepatnya pada masa Changiz Khan (1155-1227) yang diteruskan oleh cucunya Hulagu Khan (1217-1265) yang telah memporak-porandakan dunia Islam, kota-kota dimana terdapat perpustakaan dan kekayaan-kekayaan “referensi” intelektual muslim telah dimusnahkan, para sarjana dibunuh, bahkan “bayi” calon intelektual yang masih didalam kandungan pun ikut dijadikan sebagai sasaran yang mengakibatkan runtuhnya kejayaan islam pada pertengahan abad ke-13, yang kemudian dunia muslim jd kacau balau, dan runtuhnya tradisi intelektualitas itu sendiri.
Pengaruh dari filsafat Yunani, dalam bukunya The Reconstruction of Religious thought in Islam Alla Muhammad iqbal mengemukakan bahwa salah satu penyebab utama “kebekuan” intelektualitas dikalangan ummat Islam adalah diterimanya paham dan pemikiran-pemikiran filsafat yunani (atau yang sering disebut dengan Aristotalianisme) dimana filsafat yunani tidak menekankan hal-hal yang partikular seperti yang di gariskan oleh Al-Quran, bahkan imam Alghazali menyuarakan perlawanan yang sangat keras terhadap kenyataan semacam ini (lihat tahafut al-falsifah). Bahkan berkenaan dengan kenyataan ini seorang ahli filsafat zaman post moderen seperti sekarang ini yang bernama Karim Douglas Crow, yang merupakan seorang sarjana blasteran dari amerika dan lebanon dalam sebuah diskusi ilmiah yang diselenggarakan di gedung direktur PPs IAIN Ar-Raniry mengemukan bahwa: penyebab utama keterhambatan perkembangan intelektualitas dikalangan muslim yaitu terjebaknya pemikir “muslim” dalam arus pemikiran yunanian yang secara nyata menentang aspek metafisika dalam pemikirannya. Padahal sejatinya metafisika itulah yang merupakan dasar dari segala wujud-wujud lainnya. Menurut Al-Farabi metafisika adalah jantungnya pengetahuan dalam Islam. Menurut pemikiran Al-Farabi dan jajarannya kata-kata yang dipopulerkan oleh filsafat barat yang berbunyi : “Karena Aku Berfikir Makanya Aku Ada” adalah sebuah statemen yang menuhankan manusia, idealnya menurut pikiran filsafat islam adalah : “Karena Aku Berfikir Maka Aku Menyadari Sesuatu Yang Ada” yang berada dalam dimensi metafisika yaitu Al-Wahidul Al-Haq Al-Awwal yaitu Allah SWT. Sementara filsafat dan pemikiran barat mengeliminasi pembahasan tentang metafisika yang tumbuh subur dimasa kejayaan pemikiran Islam.
Peranan Al-Ghazali, mungkin hal inilah yang paling menarik dan paling banyak dibicarakan oleh “Intelektual” kita. Hal ini dikatakan menarik karena dalam realitasnya Al-Ghazali dituding “walau secara tidak langsung” sebagai “juru kunci” yang telah membekukan dan menutup pintu ijtihad dikalangan kaum muslimin. Sejujurnya jika kita bisa menangkap dan mengambil “spirit yang tersirat dalam tulisan Al-Ghazali Dalam Al-Mungqid Minaddhalal Al-Ghazali menyatakan bahwa: Sejak muda sebelum dua puluh tahun, sampai saat ini ketika saya lebih dari lima puluh, saya tidak berhenti untuk menyelidiki ke kedalaman laut dalam (dari berbagai kepercayaan umat manusia), untuk terjun ke kedalaman yang berani, bukan sebagai pengecut berhati-hati, untuk mengubur diri dalam pertanyaan tidak jelas, penuh semangat merebut atas kesulitan dan melompat dengan berani menjadi masalah yang sulit dan tidak jelas, dan untuk meneliti keyakinan firqah masing-masing, memeriksa dari sudut pandang ajaran yang segi tersembunyi dari setiap kelompok agama...’’ jelaslah: betapa “kentalnya’’ daya kritis yang dimiliki oleh Al-Ghazali, yang sayangnya kita hanya “terperangkap’’ dalam apa yang di nilai dan dikampanyekan oleh sebagian kalangan bahwa al-Ghazali telah mematikan daya krits ilmiah dikalangan umat islam dengan berbagai teori tasaufnya.
Mazhab-mazhab fiqh, selain yang telah diungkapkan di atas para pakar fiqh juga mempunyai peranan yang sangat penting dan lumayan krusial dalam percaturan pemikiran dikalangan kaum muslim itu sendiri, hal ini terlepas dari ketidak mampuan kita dalam merasionalisasi berbagai aturan dan ketentuan yang mereka gariskan dalam hal membatasi dan memberikan “legitimasi” bagi setiap orang yang hendak berijtihan, dengan berbagai ketentuan yang “digariskan” oleh para fuqaha tersebut. Dalam hal berijtihad para fuqaha senantiasa bersandar pada empat sumber utama yaitu Al-Quran, Al-hadis, ijma’ dan qiyas. Pen: Bahkan kalau kita mampu memahami tujuan dibalik berbagai ketentuan yang ditetapkan tersebut tidak tertutup kemungkinan kita akan “berhenti” mendiskreditkan dan mengkambing hitamkan mereka (fuqaha), kalaupun “enggan” menjadi pengikut dan pengamal setia aturan yang mereka tetapkan.
Mistisisme asketik (zuhud), suatu faktor lainnya yang berperan dalam terhambatnya perkembangan intelektual dikalangan muslim menurut C.A Qadir yaitu tumbuh suburnya pemahaman zuhud dikalangan ummat Islam yang mematikan atau paling tidak melesukan semangat penelitian ilmiah (ijtihad) dikalangan ahli zuhud khususnya dan ummat islam pada umumnya.
Kekhawatiran dari para penguasa, menurut Munir Khan seorang pemikir yang berkebangsaan pakistan, awal kemunduran pemikiran dikalangan ummat islam juga tidak terlepas dari kecemasan yang berlebihan yang menghantui para penguasa yang menganggap bahwa perkembangan intelektual akan mengancam “kekuasaan” mereka secara tidak langsung, kekuasaan muthlak mereka akan terusik oleh perkembangan pemikiran rakyathya.
Dari seuntaian “coret moret” di atas saya hanya bisa berharap lahir dan suburnya sebuah semangat sportivitas yang penuh tanggung jawab dan terbuka untuk mengakui secara jujur dan menjawab dengan cara yang lebih dan nyata dari berbagai persoalan yang kita hadapi, yang selama ini “sebagian” dari kita “sering kali” menganggap Al-Ghazali sebagai biang keladi “keterpurukan” kita “kalupun iya dan benar” yang pada realitanya Al-Ghazali telah sangat lama meninggalkan kita yang selama ini barangkali “masih asing dikalangan kita”, apa lagi kalau kita mau secara lebih terbuka untuk “mencermati” kembali bagaimana semangat dan power yang dimiliki oleh seorang Al-Ghazali yang telah mampu menelurkan berbagai pemikiran yang mampu mewarnai dunuianya, yang barang kali ataupun bisa dikatakan “dengan pasti” bahwa kita dan saya rasa sampai sekarang tidak ada dan belum ada yang mampu mendekati, mengimbangi apa lagi menyaingi dan mengungguli kemampuannya.
Nah ketika kita tertinggal dalam segala aspek kehidupan, dari ekonomi, pendidikan, ke-agamaan, teknologi, dan lain sebagainya, Pantaskah kita “terus” menyelahkan “orang lain”? dan mengkambing hitamkan “orang lain” atas kegagalan yang menimpa kita? Bukankah itu “sejatinya” sebuah sikap dari seorang atau segerombolan dari pecundang? Yang hanya nekad untuk menyalahkan? Tanpa dibekali sebuah kemampuan untuk memberikan sebuah jawaban?


Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Alumni dayah Riyaadhusshalihiin, Ateuk Angguk Aceh Besar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar